Jakarta, 14 April 2021. “Indonesia harus dapat mencapai net-zero emission di tahun 2050”, demikian disampaikan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dalam Rapat pada tanggal 12 April 2021 yang dihadiri oleh jajaran Kemenko Maritim dan Investasi, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Dirjen EBTKE dan Dirjen Ketenagalistrikan ESDM, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasojo, Direktur Mega Proyek PLN Ikhsan Saad, Ketua METI Surya Darma, dan Ketua-ketua Asosiasi Energi Terbarukan, stakeholder energi terbarukan dan peserta lainnya. “Bahkan kami minta di daerah tertentu sudah bisa mencapai net-zero emission pada tahun 2045, bersamaan dengan Indonesia Emas, seperti di Bali,” tambahnya.
Hal ini disampaikan Menko Maritim dan Investasi untuk merespon usulan untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2070 yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Konsultasi Publik “Indonesia 2050 LTS-LCCR” (2050 Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilient) pada tanggal 24 Maret 2021. Dalam acara tersebut KLHK menyampaikan bahwa Indonesia akan mencapai net-zero emission pada tahun 2070.
Menko Maritim dan Investasi menambahkan, “Kita tidak dapat lagi hanya mengandalkan business as usual dalam bertindak dan menyusun regulasi. Banyak investor internasional yang tidak mau masuk ke Indonesia kalau kita masih tetap berpikir dan bertindak biasa. Oleh karena itu kita harus mengupayakan agar net-zero emission Indonesia bisa dicapai pada tahun 2050, dan itu dapat dicapai apabila kita memaksimalkan penggunaan energi terbarukan”.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengusulkan implementasi “Indonesia Renewable Energy 50/50 Initiative” atau ET 50/50. Dengan inisiatif ini, untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2050 pemerintah menetapkan target energi terbarukan setidaknya 50% pada tahun 2050. Untuk mencapai target tersebut dan menuju net-zero emission, diusulkan agar dalam perencanaan, pengadaan dan pengoperasian pembangkit, diutamakan untuk menggunakan energi terbarukan, tidak ada lagi pengadaan PLTU Batubara baru mulai tahun 2025, tidak ada lagi penggunaan PLTD mulai 2030, PLTU batu bara yang sudah beroperasi saat ini harus melakukan co-firing setidaknya 5% dengan menggunakan limbah pertanian atau sampah kota atau kayu yang berasal dari hutan energi yang dikelola secara berkelanjutan. Disamping itu perlu diimplementasikan instrumen carbon pricing, perbaikan jaringan agar mampu menampung energi terbarukan, serta pengembangan kawasan ekonomi dan industri berbasis energi terbarukan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang baru terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menambahkan, “Indonesia masih dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada tahun 2025, namun untuk mencapai target tersebut pemerintah dan PLN perlu segera memperbanyak pengadaan energi terbarukan. Sebagai contoh, apabila pemanfaatan PLTS Atap dapat diperluas, maka hal ini akan dapat mempercepat pencapaian target energi terbarukan 23% pada tahun 2025 Hal ini diharapkan tidak akan banyak mengurangi pendapatan PLN”.
Analisis yang dilakukan GIZ bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, sebenarnya pemerintah dapat memberikan contoh pemanfaatan energi terbarukan, terutama dengan memanfaatkan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, yang mana disebutkan bahwa setidaknya 30% dari luasan atap bangunan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat, harus digunakan untuk PLTS Atap. Bappenas mengusulkan agar pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 210 milyar pada APBN tahun 2022 untuk memasang PLTS Atap di kantor 70 Kementerian dan Lembaga, dengan total kapasitas terpasang sebesar 14 MWp.
Pemasangan PLTS Atap ini akan dapat menghemat biaya listrik sebesar Rp. 22 milyar per tahun dan akan dapat menurunkan emisi GRK sekitar 340.000 tCO2 selama 25 tahun. Tentunya, apabila semua atap gedung pemerintah, gedung pendidikan milik pemerintah dan swasta, rumah sakit milik pemerintah dan swasta ataupun gedung-gedung lainnya sudah memanfaatkan PLTS Atap sesuai dengan Perpres 22/2017, maka hal ini akan dapat membantu pencapaian target energi terbarukan 23% dalam bauran energi pada 2025.
Analisis lain yang dilakukan UNPAGE bahwa untuk mencapai target energi terbarukan 23% pada tahun 2025 pemerintah perlu menyediakan insentif fiskal berupa tax holiday tanpa mempertimbangkan biaya investasi, dan tidak memungut PPN untuk pengadaan jasa dan barang dalam negeri dalam pengembangan energi terbarukan.
Kedua hal ini akan dapat membantu perbaikan tingkat perekonomian proyek energi terbarukan. Dengan penyediaan insentif fiskal ini, maka apabila pemerintah ingin mengembangkan hingga sekitar 9GW untuk mencapai target 23% sebagaimana direncanakan oleh Kementerian ESDM, maka akan dicapai penurunan emisi GRK sekitar 34 juta tCO2 per tahun dan akan dapat memasukkan investasi sekitar USD 20.5 milyar. Tentunya hal ini akan dapat membantu pencapaian net-zero emission pada tahun 2050. # (Admin RIBnews)