Oleh: Busthomi Rifa’i

PENGANTAR. Barisan.co menurunkan reportase berbasis data tentang kondisi dan kualitas udara di DKI Jakarta dan sekitarnya yang disebabkan oleh beroperasinya sejumlah PLTU di Banten dan wilayah lain di Pulau Jawa. Artikel yang ditulis oleh Busthomi Rifa’i ini kemudian dimuat kembali dalam www.rumahberkelanjutan.id untuk memberi dampak penyebaran informasi yang lebih luas, sehingga bisa mempengaruhi kesadaran masyarakat di satu sisi dan perbaikan kebijakan publik tentang kualitas udara di sisi lain. RIB berkepentingan dengan isu ini karena berkaitan dengan salah satu program RIB, yakni adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

***

Asap membumbung keluar dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya. Asap pekat itu menandakan pembakaran batu bara sedang berlangsung. Udara terasa menyesakkan dan gerah meski waktu belum benar-benar siang, baru pukul 10.30 WIB, lebih-lebih sudah memasuki musim penghujan bulan Oktober 2020.

Hari itu tak jauh dari lokasi PLTU, beberapa warga dari Suralaya, Salira, dan Lebak Gede membentangkan berbagai spanduk. Mereka sedang melakukan aksi penolakan pembangunan PLTU baru. Lokasinya di bekas pantai Kelapa Tujuh yang sebelumnya jadi andalan sebagian warga Suralaya untuk mencari nafkah. Kini, pantai sudah kena reklamasi.

“Stop PLTU Jawa 9 dan 10.” “Masyarakat butuh nasi bukan polusi.” “Selamatkan PLN jangan perbanyak utang.” Begitu antara lain bunyi spanduk aksi. Mereka aksi di seberang Komplek PLTU.

PLTU Jawa 9 dan 10 berkapasitas 2×1.000 megawatt akan dibangun di Pantai Kelapa Tujuh, Suralaya, Cilegon, Banten. PLTU ini termasuk mega proyek 35.000 megawatt yang dicetuskan Presiden Joko Widodo pada 2015.

PLTU baru ini dibangun oleh anak perusahaan PLN, Indonesia Power lewat PT Indo Raya Tenaga dengan 51% kepemilikan, bekerja sama dengan Barito Pacific Group dan Kepco, perusahaan listrik Korea Selatan dengan 49% saham.

PLTU baru diklaim akan dibangun dengan teknologi lebih efisien, gunakan teknologi ultra super critical (USC). Hingga kini, sudah ada tujuh PLTU di Suralaya. Satu lagi PLTU Jawa 7 ada di Kelurahan Bojonegara. Total ada delapan PLTU Suralaya dengan kapasitas 4.025 megawatt.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada November lalu telah mengajukan gugatan terkait izin lingkungan PLTU Jawa 9-10 ke Pengadilan Tata Usaha Negara Serang.

Gugatan dilayangkan karena pembangunan PLTU tersebut akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar serta gagal mematuhi standar emisi terbaru yang telah berlaku sejak 2019.

“Gugatan ini didaftarkan untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup dari dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan oleh pembangunan dan operasi PLTU Suralaya 9-10. Untuk itu, kami meminta Gubernur Provinsi Banten untuk membatalkan Izin Lingkungan PLTU Suralaya 9-10,” kata Ronald Siahaan, kuasa hukum penggugat dalam satu keterangan persnya.

Ronald menjelaskan, PLTU Jawa 9-10 yang terletak di Suralaya, Kota Cilegon akan menambah panjang daftar sumber polutan di wilayah itu. Mengingat hingga saat ini, di wilayah Suralaya telah terdapat 8 PLTU dengan total kapasitas 4025 MW yang letaknya berdekatan dengan pemukiman masyarakat.

Kekhawatiran WALHI cukup beralasan. Diketahui, emisi batu bara berpolusi sangat tinggi, di antaranya mengandung NOx dan SO2 yang menjadi penyumbang terbesar terbentuknya hujan asam serta polusi PM2.5.

Polusi batu bara juga menghasilkan paparan bahan kimia berbahaya seperti arsen dan merkuri. Pada akhirnya, aktivitas pembakaran batu bara menyumbang sekitar 44 persen emisi CO2, yang memicu perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca, seperti diungkapkan International Energy Agency (IEA).

Peta sebaran PLTU yang sudah berjalan maupun sedang direncanakan, tersebar di Pulau Jawa-Bali. Ilustrasi: Barisan.co/Busthomi.

Dampak PLTU pada Kualitas Udara Jakarta

Laporan Greenpeace mengungkapkan, Jakarta menjadi ibu kota negara yang dikelilingi PLTU terbanyak di dunia dalam radius 100 kilometer, dibandingkan dengan ibu kota lain.

Emisi dari PLTU yang telah beroperasi maupun yang direncanakan akan meningkatkan risiko kesehatan seluruh penduduk Jabodetabek—termasuk 7,8 juta anak-anak, menyebabkan mereka terpapar PM2.5 yang jauh di atas standar WHO.

Bukannya mengurangi penyebab kotor udara ibu kota, pemerintah justru merencanakan penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru di sekitar Jabodetabek (Merak, Suralaya, Labuan, Lontar, Cikarang, Pelabuhan Ratu) untuk memasok kebutuhan listrik di Jawa-Bali. Rencananya akan ada empat PLTU baru atau setara tujuh unit pembangkit. Sementara yang sudah beroperasi ada delapan PLTU atau setara 22 unit.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada 2017 silam, diketahui setidaknya terdapat 10 PLTU berbahan bakar batu bara yang tercatat menyumbang polusi di Jakarta.

Mereka adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW.

Kemudian PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW.

Setidaknya ada empat PLTU berbahan bakar batu bara yang dalam tahap pembangunan hingga saat ini, yaitu PLTU Asahimas Chemical unit 1-2 berkapasitas 300 MW, PLTU Jawa-7 berkapasitas 2.000 MW, PLTU Jawa-9 atau Banten Exp. berkapasitas 1.000 MW, serta PLTU Jawa-6 atau Muara Gembong berkapasitas 2.000 MW.

Keberadaan PLTU tersebut, menurut Walhi dan Greenpeace menyumbang 20-30% polusi udara di Jakarta.

Data itu diperkuat dengan laporan yang dirilis oleh CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air). Dalam laporannya terungkap, sumber emisi tidak bergerak, seperti PLTU Batu Bara, pabrik, dan fasilitas industri lainnya yang berada di Jawa Barat dan Banten itu terbawa angin hingga ke Jakarta.

CREA melakukan pemodelan atmosferik terperinci tentang penyebaran pencemar dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara di sekitar kota. Dengan mengembangkan data meteorologi 3 dimensi untuk setiap jam tahun pemodelan (2014), termasuk kecepatan angin, arah, kelembaban, suhu, stabilitas atmosferik, dan variabel terkait lainnya menggunakan model meteorologi TAPM yang dikembangkan oleh lembaga ilmu pengetahuan nasional Australia CSIRO.

CREA kemudian menggunakan model penyebaran CALPUFF, model jangka panjang yang paling banyak digunakan di dunia, untuk mensimulasikan pencemaran dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.

Model ini melacak penyebaran pencemaran, transformasi kimia, dan deposisi di atmosfer untuk menilai dampak sumber yang dimodelkan pada kualitas udara di seluruh area pemodelan.

Pemodelan TAPM/CALPUFF untuk konsentrasi permukaan pencemar yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara menunjukkan, bahwa sumber emisi besar dalam radius 100 km dari Jakarta berdampak signifikan pada kualitas udara Jakarta.

Gambar Konsentrasi NO2, SO2 dan PM2.5 di Jakarta di ‘hari terburuk’ pencemaran. Sumber: Publikasi CREA berjudul “Jakarta Transboundary Pollution”.

Gambar di atas menunjukkan contoh-contoh penyebaran pencemaran terburuk di Jakarta, ketika masa udara tiba di kota dari zona industri Suralaya, di mana lima PLTU Batubara besar berada.

Konsentrasi pencemar PM2.5 (paling kanan pada gambar) yang disebabkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, dalam hal ini, lebih tinggi di DKI Jakarta daripada di Banten.

Hal ini sebagian disebabkan oleh transformasi banyak emisi SO2 dan NOx dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara di Banten—di mana kedua pencemar tersebut paling terkonsentrasi (gambar tengah dan paling kiri pada gambar di atas)—menjadi PM2.5 sekunder ke arah angin berhembus dan lebih dekat ke Jakarta. (Admin RIBnews)

Artikel asli: https://barisan.co/ibu-kota-yang-terkepung-cerobong-asap-pltu/