Oleh Barid Hardiyanto
Kebijakan Jokowi dalam memberikan hak kelola lahan kepada Pemuda Muhammadiyah bermasalah. Reforma agraria tereduksi sekadar bagi-bagi tanah.
Laman Pemuda Muhammadiyah memaparkan mengenai pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi menyambut baik agenda organisasi itu dalam pemberdayaan para pemuda di bidang ekonomi, kewirausahaan, dan agrobisnis dengan memberikan dukungan berupa konsesi lahan yang bisa dikelola secara mandiri oleh mereka. Pemuda Muhammadiyah akan diberi hak kelola lahan seluas 19.685 hektare yang tersebar di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Menurut Pemuda Muhammadiyah, lahan tersebut nantinya dimanfaatkan dan dikembangkan untuk pengelolaan sampah mandiri, pengembangan peternakan, serta pengembangan hidroponik berbasis pemberdayaan masyarakat.
Sepintas lalu, niat mulia ini tidaklah salah. Namun, bila ditinjau lebih jauh, ada makna yang keliru yang bisa jadi tidak dipahami Pemuda Muhammadiyah atas situasi tersebut. Pemberian hak kelola ini telah mengundang kritik, termasuk dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyebutkan beberapa masalah dalam pemberian lahan tersebut. Pertama, soal landasan hukum kebijakan Jokowi dalam memberikan konsesi lahan yang termasuk tanah obyek reforma agraria (TORA).
Dalam reforma agraria tidak ada istilah “kelola”. TORA diberikan dalam bentuk hak atas tanah secara penuh.
Kedua, TORA diprioritaskan untuk petani tidak bertanah, petani gurem, penggarap, nelayan tradisional, masyarakat miskin, masyarakat lokal, dan masyarakat adat. Kondisi tanah di wilayah yang akan dikelola Pemuda Muhammadiyah tersebut sudah berbentuk kampung-kampung dan tanahnya sudah lama digarap oleh masyarakat sekitar. Bila menilik hal itu, masyarakat setempat dan kelompok prioritaslah yang paling berhak mendapatkan tanah tersebut.
Pendangkalan Kebijakan
Marger (1987) dan Scott (2007) berpandangan bahwa kelompok elite, baik secara politik maupun ekonomi, menempati posisi teratas masyarakat yang dapat melestarikan hubungan dominasinya dalam struktur kekuasaan dan kekayaan. Mereka membuat semua keputusan penting dalam mengalokasikan nilai-nilai politik dan menjalankan kekuasaan, pengaruh, serta kontrol sumber daya dalam organisasi pemerintahan dan masyarakat. Mereka mampu memaksakan kepada masyarakat secara keseluruhan penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan mereka terhadap sistem dominasi politik dan ekonomi. Di sinilah kemudian terjadi pendangkalan.
Contoh paling nyata dari pendangkalan dalam agraria adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi ini “dimaksudkan” untuk memberikan lapangan kerja kepada rakyat, tapi pada kenyataannya adalah agenda untuk memberikan pekerjaan kepada para pemilik modal/investor (KPA, 2020; Maria, 2020). Pemerintah mengerahkan segala kekuasaan, pengaruh, dan kontrolnya dengan mengkampanyekan (termasuk menggunakan buzzer) bahwa undang-undang ini digunakan untuk kepentingan rakyat, termasuk untuk mengatasi ketimpangan agraria. Misalnya dalam hal bank tanah. Bila benar nantinya bank tanah ini akan diimplementasikan, “pemberian hak kelola” kepada Pemuda Muhammadiyah bisa jadi merupakan uji coba (test case) untuk tahap selanjutnya memberikan kepada pemilik modal/investor dengan alasan untuk kepentingan percepatan pembangunan.
Begitu juga dalam soal agraria yang terkait dengan masyarakat adat. Alih-alih memberikan peluang bagi masyarakat adat untuk mengakses haknya dengan kemudahan dari pemerintah, Undang Undang Cipta Kerja malah mempermudah investor untuk berinvestasi di tanah ulayat (Cahyadi, 2020) dan menghilangkan/melumpuhkan kebijakan kebijakan yang sebelumnya lebih berpihak kepada masyarakat adat (Zakaria, 2021).
Merujuk hal-hal di atas, bisa diasumsikan bahwa pendangkalan atas makna reforma agraria terjadi pada semua aktor, dari penguasa penyelenggara reforma agraria yang kemudian merembet ke elite politik, pendorong reforma agraria (gerakan petani dan masyarakat sipil), hingga subyek penerimanya. Pendangkalan terjadi karena, dalam konsep maupun implementasi, reforma agraria dijalankan menurut tafsiran sepihak dan kepentingan mereka sendiri tanpa melihat standar reforma agraria yang sebenarnya.
Pendangkalan pada Era SBY
Saya pernah melakukan penelitian untuk disertasi saya mengenai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. Program ini diklaim sebagai reforma agraria terbesar pada era reformasi. Pada kenyataannya, kebijakan itu justru berdampak buruk pada masyarakat.
Ada beberapa implikasi buruknya. Pertama, tidak terjadi perubahan dalam mengatasi ketimpangan agraria. Kedua, pembagian lahan tidak diikuti dengan pemberian daya dukung pasca-redistribusi dan tidak membuat petani sejahtera. Ketiga, terjadi reakumulasi tanah. Keempat, tanah yang telah didapatkan malah diperjualbelikan. Kelima, ketidakjelasan antara pemiliksertifikat dan lahan garapannya. Keenam, imbas dari ketidakjelasan itu membuat pemerintah desa kesulitan memungut pajak. Ketujuh, secara politik, kasus jual beli lahan ini sangat berpengaruh pada upaya gerakan petani untuk memperjuangkan kasus tanah lainnya.
Berbagai macam implikasi buruk tersebut dapat terjadi karena ketidaksesuaian antara kebijakan teknokrasi pemerintah dan artikulasi kepentingan rakyat. Reforma Agraria, yang seharusnya merupakan “landreform plus”, tereduksi sekadar bagi bagi tanah, tidak berbeda sama sekali dengan konsep landrefom pada masa lalu. Hal ini terjadi karena lingkungan politik yang semakin dangkal akibat cara pandang politik populis pada saat itu, yakni mengutamakan pencitraan.
Kembali ke Khitah
Berdasarkan pengalaman tersebut, Jokowi sebaiknya tidak mengulang pendangkalan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Jokowi seharusnya mengembalikan reforma agraria pada khitahnya. Jokowi harus memastikan bahwa reforma agraria sesuai dengan cita cita, langkah, rencana, tujuan dasar, garis haluan, dan landasan awal dari kebijakan tersebut.
Reforma agraria adalah pengembangan dari “land reform plus” (Peasent Charter, 1979) yang bermakna sebagai redistribusi tanah ditambah dengan program pendukung berupa penyediaan modal/kredit serta penyediaan sarana produksi dan pendidikan atau pelatihan untuk meningkatkan kemampuan petani. Reforma agraria seharusnya tidak berhenti pada redistribusi tanah dan pemberian program pendukung, tapi juga terjadinya transformasi masyarakat atau perubahan relasi ekonomi politik yang berkeadilan (Ladejinsky, 1964; Feder 1965; Wiradi, 2009, White & Borras, 2014).
Pendangkalan makna reforma agraria harus dihentikan. Kebijakan itu harus dikembalikan ke makna awalnya, sehingga terjadi perubahan dalam menciptakan relasi ekonomi-politik yang berkeadilan di masyarakat. Namun, jika tanah tersebut dikelola oleh subyek yang tidak tepat, bukan tak mungkin kesalahan yang dilakukan SBY akan terulang lagi pada Jokowi, yakni jatuh pada lubang yang sama: sama-sama mengalami pendangkalan. #
Barid Hardiyanto adalah Doktor Ilmu Administrasi UGM
Terbaru lainnya
- Majelis Hakim Kabulkan Gugatan Polusi Udara Jakarta
- Digital News Report 2022: Publik Masih Anggap Remeh Berita Perubahan Iklim
- Setelah Naik Takhta, Akankah Raja Charles Tetap Vokal Soal Isu Lingkungan?
- Ibu Peni Susanti, Kalpataru dan Gerakan Ciliwung Bersih
- Strengthening the Coffee Conservation in Gayo Land