Dalam satu dekade terakhir, banyak teman saya yang bekerja di berbagai profesi, baik di sektor pemerintahan, korporasi, UMKM, termasuk para fresh graduate di perguruan tinggi, bertanya tentang bagaimana memberdayakan masyarakat. Tentu saja sudah banyak orang berpengalaman dalam bidang ini menulis tentang pemberdayaan masyarakat. Di perguruan tinggi juga terdapat sejumlah jurusan yang fokus pada kajian keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat dalam ilmu-ilmu sosial terapan, seperti jurusan sosiatri, jurusan pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya.

Memberdayakan masyarakat lebih dari sekedar ilmu. Ia merupakan sebuah seni. Sebagai sebuah seni, pemberdayaan masyarakat harus dilihat dari sisi keindahannya, fungsinya, dan proses yang harus dijalankan.

Dari sisi keindahannya, pemberdayakan masyarakat akan melahirkan sisi keindahan dalam relasi-relasi sosial, dalam kekayaan budaya masyarakat, dan dalam kekuatan tatanan sosial masyarakat itu sendiri.

Dari sisi fungsi, pemberdayaan masyarakat berfungsi dalam melakukan transformasi masyarakat itu sendiri. Transformasi apa? Transformasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Tentu saja sebuah masyarakat sudah mempunyai tatanan sosial budaya dan ekonomi yang sedang berlangsung. Fungsi pemberdayaan adalah meningkatkan kualitas dari kondisi sebelumnya menjadi kondisi yang lebih baik. Kondisi yang lebih baik bukanlah kondisi yang dipaksakan dari luar, melainkan kondisi yang diukur bersama secara partisipatif dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Seringkali, pemerintah, lembaga donor, NGO dan kegiatan CSR korporasi memaksakan standar-standar dan ukuran-ukuran dari luar dalam proyek pemberdayaan masyarakat yang mereka lakukan. Apa yang terjadi? Saya menemukan bahwa standar-standar dan ukuran-ukuran dari luar itu diterima hanya sementara oleh masyarakat. Namun karena tidak melekat (embedded) dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial, maka standar-standar dan ukuran-ukuran dari luar itu akan ditinggalkan begitu saja ketika proyek selesai.

Sementara dari sisi proses, pemberdayakan masyarakat bukanlah sebuah proses yang instan. Karena yang akan ditransformasi adalah manusia, maka proses mengubah manusia sebagai individu, kelompok dan sosietal membutuhkan waktu yang tidak pendek. Seringkali, proses transormasi dalam pemberdayaan masyarakat berlangsung bertahun-tahun.

Pemberdayaan masyarakat tidak bisa dianggap sebagai sebuah proyek. Karena, proyek yang mempunyai batas waktu, anggaran dan sumberdaya manusia, maka proyek pemberdayaan masyarakat seringkali gagal dan tidak mencapai hasil yang diharapkan.

Karena itu, pemberdayaan masyarakat harus diletakkan sebagai sebuah program yang capaiannya sangat tergantung pada kondisi dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Sebagai sebuah program, maka pemberdayaan masyarakat tidak boleh tergantung pada sumberdaya dari luar, melainkan berbasis pada kekuatan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Sumberdaya dari luar berupa uang, pengetahuan dan sumberdaya manusia, harus diletakkan sebagai pendukung saja, bukan penentu dalam transformasi masyarakat untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial budaya dan ekonomi.

Karena itu, dalam proses perencanaan sebuah program pemberdayaan masyarakat, aktor-aktor pemberdayaan masyarakat harus selalu meletakkan aspek keberlanjutan (sustainability) sebagai hal yang sangat penting.

(Tim Redaksi)