Oleh: Yusdi Usman
Indonesia mempunyai komitmen kuat dalam aksi penanggulangan perubahan iklim. Komitmen tersebut diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, Indonesia berkomitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebagai NDC (Nationally Determined Contribution) sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Komitmen tersebut diratifikasi melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Kedua, untuk mendukung komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah menyusun perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Nasional (PRKN) yang diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. PPRK merupakan transformasi strategi dari program Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.61 Tahun 2011.
Kebijakan PRKN merupakan sebuah kemajuan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya mendukung upaya bersama pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). PRKN menjadi terobosan, karena bukan hanya aspek ekonomi yang menjadi basis perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, melainkan juga aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan yang turut dipertimbangkan dalam penyusunan skenario pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon dan lestari.
Persetujuan Paris di bawah United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menekankan pentingnya prinsip Enhanced Transparency Framework (ETF) dalam sistem pemantauan dan pelaporan capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). ETF merupakan pengembangan dari sistem Monitoring, Reporting and Verification (MRV) yang ada saat ini. ETF didesain untuk membangun rasa saling percaya dan keyakinan bahwa semua negara memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi global. Laporan mengenai kontribusi tiap negara akan menjadi masukkan penting di dalam global stocktake, yaitu proses di dalam Persetujuan Paris yang dilakukan untuk meninjau status capaian komitmen tiap negara untuk mendapatkan gambaran pencapaian sedunia. Global stocktake pertama akan diadakan pada tahun 2023 dan berlangsung setiap lima tahun sekali.
ETF dikembangkan berdasarkan sistem Monitoring, Reporting and Verification (MRV) yang sudah diadopsi oleh UNFCCC. Oleh karena itu, pencapaian target penurunan emisi Indonesia perlu mengikuti konsep MRV yang diakui di tingkat internasional dan sesuai dengan kaidah Clarity, Transparency and Understanding (CTU) agar proses pengembangan ETF di Indonesia lebih mudah dilaksanakan.
Saat ini beberapa kementerian/lembaga telah memiliki sistem pemantauan aksi mitigasinya masing-masing, namun sistem tersebut belum terintegrasi, sehingga hasil perhitungan penurunan emisi berbeda-beda. Hal ini menunjukkan perlunya upaya lebih keras untuk memperkuat sistem MRV secara kolaboratif agar sesuai dengan konsep ETF, serta mendukung pelaksanaan target pembangunan rendah karbon yang efisien dan efektif.
ETF dikembangkan berdasarkan sistem MRV yang sudah diadopsi oleh UNFCCC. ETF mengharuskan negara-negara untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai aksi penanggulangan perubahan iklim, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai kemajuan serta dampaknya terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs). Laporan kemajuan pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim ini disampaikan dalam bentuk Biennial Transparency Report (BTR) dan National Inventory Document (NID).
Saat ini pemerintah Indonesia telah memiliki sistem MRV pada tingkat kementerian/lembaga. Gambar 1 memperlihatkan bahwa sistem MRV Indonesia sudah melaksanakan beberapa komponen ETF, terutama yang terkait dengan aspek emisi GRK, aksi mitigasi, dan inventori GRK nasional. Pencatatan dan transparansi untuk aksi mitigasi merupakan komponen yang paling berkembang di Indonesia. Saat ini telah ada berbagai sistem untuk pemantauan emisi dan aksi mitigasi, baik sistem nasional maupun sektoral.

Gambar 1. Transformasi sistem MRV di Indonesia menjadi ETF
Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah belum terintegrasinya sistem-sistem MRV yang ada pada kementerian/lembaga, angka perhitungan penurunan emisi yang tidak konsisten, belum maksimalnya transparansi terhadap proses yang dilakukan, serta belum tersedianya data yang akurat tentang sumber dan jumlah dana untuk penanggulangan perubahan iklim. Kondisi tersebut akan menjadi ancaman serius bagi efektivitas dan efisiensi perencanaan serta penganggaran kegiatan dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu, untuk memperkuat transparansi dalam MRV dan PRKN sesuai dengan prinsip ETF, terdapat sejumlah tantangan yang harus diperkuat.
Pertama, Penguatan sistem MRV Indonesia harus dilakukan secara holistik dan konsisten. Sistem MRV harus diperkuat agar ETF dapat berhasil dengan baik. Semakin lengkap komponen MRV yang dilaksanakan oleh Indonesia (seperti yang ada di gambar 1), semakin besar kemungkinan Indonesia untuk memenuhi ETF. ETF mempunyai sejumlah komponen, baik di tingkat aksi maupun dukungan. Di tingkat aksi, ada sejumlah komponen yang harus dilaksanakan untuk memastikan berjalannya ETF, yakni NDC, aksi mitigasi penurunan GRK, dan aksi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Dari tiga komponen aksi dalam ETF ini, baru aksi mitigasi penurunan GRK yang sudah masuk dalam sistem MRV saat ini. Sementara komponen EFT di tingkat dukungan, terdiri dari dukungan pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, belum sepenuhnya masuk dalam sistem MRV. Karena itu, pemerintah perlu memastikan untuk melaksanakan semua komponen MRV, sehingga dapat memenuhi persyaratan yang ada dalam ETF. Untuk itu, perlu dilakukan penguatan MRV yang terkait dengan regulasi, organisasi/kelembagaan dan sumber daya manusia.
Kedua, Indonesia memerlukan payung hukum bagi sinergi pelaksanaan MRV. Penguatan sistem MRV dilakukan dengan menerbitkan regulasi yang mengatur pelaksanaan MRV. Perumusan peraturan dan kebijakan tersebut harus berdasarkan bukti (evidence-based decision making). Saat ini proses penyusunan Peraturan Presiden tentang Pembangunan Rendah Karbon serta Perhitungan dan Pemantauannya, yang akan menjadi payung hukum pelaksanaan MRV, sedang berlangsung dan sudah ada rancangan Perpres integrasi yang sedang didiskusikan oleh para pemangku kepentingan. Proses penyusunan Perpres ini perlu dipercepat agar pedoman penyelenggaraan sistem pemantauan dan pelaporan dapat segera disusun dan disosialisasikan ke daerah..
Ketiga, harmonisasi sistem MRV dan pengembangan kebijakan “Satu Data”. Organisasi yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan pelaksanaan MRV secara nasional harus ditetapkan agar mekanisme komunikasi antar lembaga serta antar basis data dapat dilakukan secara cepat dan transparan. Saat ini tim teknis dari Kementerian Bappenas melalui Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat MRV MPV, serta Kementerian Keuangan melalui Pusat Kebijakan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) dan Direktorat Sistem Penganggaran telah menginisiasi dalam membuat kerangka kerja dan harmonisasi sistem MRV.
Upaya harmonisasi ini menunjukkan bahwa sistem informasi teknologi di Indonesia sangat memungkinkan untuk mendukung kebijakan “Satu Data”. Ketersediaan sistem “Satu Data” tentang penurunan intensitas dan emisi GRK per sektor di Indonesia akan bermanfaat bagi rencana dan implementasi pembangunan rendah karbon. Sistem “Satu Data” juga akan akan meningkatkan kualitas laporan Indonesia kepada dunia internasional, tidak hanya bagi laporan perubahan iklim kepada UNFCCC melainkan juga Laporan Voluntary National Reviews terkait SDGs. Dukungan kebijakan dari Bappenas, KLHK, dan Kementerian Keuangan sangat dibutuhkan agar proses harmonisasi dapat berjalan secara cepat, efektif, dan efisien.
Kebijakan “Satu Data” ini perlu ditransformasikan menjadi sejenis “khowledge hub” yang dikelola dibawah Menko Perekonomian. Semua data dan pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan iklim di Indonesia harus menjadi sistem pengetahuan yang bisa diakses secara terbuka dan dikelola dengan baik. Menko Perekonomian bisa menjadi host untuk mengelola data dan knowledge hub ini, karena kementerian ini berfungsi dalam melakukan koordinasi terhadap kementerian/lembaga yang terlibat dalam proser MRV.
Konsep harmonisasi sistem MRV berdasarkan fungsi kementerian/lembaga ditunjukkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Skema rencana harmonisasi sistem MRV
Meskipun upaya harmonisasi sistem MRV sudah dilakukan sejak lama, namun sampai saat ini, harmonisasi ini belum berjalan dengan baik. Tarik ulur kepentingan masih terjadi di tingkat pejabat teknis. Karena itu, perlu ada intervensi yang lebih kuat untuk memastikan bahwa proses harmonisasi sistem MRV ini bisa diterapkan untuk melahirnya sistem “Satu Data”. Gambar 2 memberikan kerangka yang jelas bahwa harmonisasi sistem MRV akan melahirkan transparansi di setiap tahap dalam perencanaan pembangunan rendah karbon yang sesuai dengan prinsip ETF, baik di tahap perencanaan, penganggaran, pemantauan, inventarisasi dan verifikasi.
Skema harmonisasi sistem MRV memberikan tanggung jawab dalam mengkoordinasikan pelaksanaan MRV secara nasional kepada beberapa kementerian, baik di tingkat perencanaan (Bappenas dan Kementerian Keuangan), penganggaran (Kementerian Keuangan), pemantauan aksi mitigasi perubahan iklim (Bappenas), dan inventori dan verifikasi (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Dalam perencanaan, pemerintah sudah menggunakan sistem KRISNA (Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran) berbasis online yang dikelola bersama oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan. Di tingkat penganggaran, Kementerian Keuangan menggunakan aplikasi SMART (Sistem Monitoring Kinerja Terpadu). Untuk pemantauan aksi mitigasi perubahan iklim, pemerintah sejak tahun 2017 menggunakan sistem PEP Online (Pemantauan, Pelaporan dan Evaluasi), dan sejak tahun 2019 bertransformasi menjadi sistem AKSARA (Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia). AKSARA hadir sebagai platform perencanaan-pemantauan dan pelaporan aksi-aksi pembangunan rendah karbon yang terintegrasi dengan sistem verifikasi nasional. Sedangkan untuk inventori dan verifikasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggunakan sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN). Jika semua sistem ini berjalan secara harmonis dan saling terintegrasi, baik di tingkat perencanaan, penganggaran, pemantauan aksi dan verifikasi, maka upaya harmonisasi sistem MRV akan berjalan dengan baik dalam rangka melakukan transformasi menuju ETF.
Keempat, peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang akan menjalankan sistem MRV perlu diperkuat. Sumberdaya manusia yang terlibat dalam sistem MRV, baik di tingkat perancanaan, penganggaran, pemantauan, maupun verifikasi, perlu berperan sangat penting dalam melakukan input data yang berkualitas baik (akurat, tepat dan lengkap) ke dalam sistem. Data yang berkualitas baik berguna sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan perencanaan dan anggaran bagi pemerintah Indonesia. Hingga saat ini, Bappenas melalui Sekretariat Nasional Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (SekRAN-GRK) bersama mitra pembangungan terus melakukan penguatan kapasitas sumber daya manusia dengan meningkatkan keahlian untuk menggunakan sistem pemantauan terbaru, yakni AKSARA. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa kementerian lain yang leading dalam menjalankan sistem MRV, baik di tingkat perencanaan, penganggaran, pemantauan, dan verifikasi.
Kelima, transparansi di dalam sistem MRV. Sistem MRV yang dibangun harus transparan sehingga dapat menunjukkan informasi tentang aksi mitigasi di Indonesia. Indonesia perlu memiliki data yang akurat dan mudah diakses tentang kegiatan yang dilakukan, metodologi pengukuran yang digunakan, anggaran yang dialokasikan, serta dukungan-dukungan terhadap penurunan emisi (transfer teknologi dan penguatan kapasitas, baik yang bersumber dari APBN, sektor swasta di dalam negeri, maupun dari mitra pembangunan internasional. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah meninjau dan memastikan metodologi perhitungan, pemantauan, evaluasi, dan verifikasi sesuai dengan standar yang diterima di tingkat internasional. Semua data juga harus diumumkan kepada publik agar memberikan ruang untuk diskusi/masukan. Data yang transparan dan akurat akan membantu usaha Indonesia dalam menurunkan emisi GRK dan mencapai target pembangunan rendah karbon. Di sisi lain, transparansi ini akan meningkatkan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia, sehingga kerjasama dengan berbagai pihak di berbagai sektor akan mudah dilakukan dalam kerangka pembangunan rendah karbon.
Sistem MRV yang transparan akan memperkuat efektivitas serta efisiensi di dalam perencanaan, penganggaran, pengawasan, evaluasi, verifikasi, dan pelaporan kegiatan yang dilakukan Indonesia untuk mencapai target pembangunan rendah karbon serta SDGs. Pembangunan rendah karbon merupakan transformasi strategi dari Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), yang saat ini terintegrasi dalam RPJMN 2019-2024. Tantangan pemerintah adalah bagaimana menciptakan transparansi dalam sistem MRV yang melibatkan kementerian-kementerian secara harmonis, sehingga target NDC Indonesia bisa dicapai secara efektif dan efisien. Selain itu, transparansi ini ini juga akan mempercepat transformasi sistem MRV menuju ETF dengan dukungan pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi secara lebih baik dalam pencapaiannya.
Bagaimana ETF dapat mendukung program Pemerintah Indonesia? Data-data yang dikumpulkan dalam sistem MRV sesuai dengan prinsip ETF akan dilaporkan kepada UNFCCC dalam bentuk BTR dan NID. Selain itu, data tersebut juga akan menjadi dasar bagi penyusunan pencapaian SDGs dan laporan pelaksanaan PRK. Proses penyusunan laporan-laporan ini dilakukan secara sinergis dan saling terkait, serta menjadi dasar bagi laporan tahunan kepada Presiden Indonesia tentang penurunan emisi GRK, evaluasi paruh waktu RPJMN 2020 – 2024 yang akan dilakukan pada tahun 2022, dan laporan pertanggungjawaban Presiden Indonesia pada akhir periode kepemimpinan di tahun 2024.

Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dalam Sistem MRV
Kelembagaan dalam sistem MRV merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung berjalannya ETF dan Pembangunan Rendah Karbon Nasional (PRKN). Kelembagaan dapat dibagi dalam beberapa aspek, yakni aspek regulatif (kebijakan, aturan perundang-undangan), aspek normatif (nilai, norma, dan prilaku), dan aspek kongnitif (kesadaran, kepercayaan, pemahaman) terhadap sistem MRV. Dalam konteks organisasi, maka kapasitas kelembagaan dalam sistem MRV merupakan kapasitas yang harus dimiliki dan diperkuat di tingkat regulatif, normatif, dan kognitif, oleh organisasi pelaksana (Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah) sehingga sistem MRV yang transparan bisa berjalan dengan baik. Di sisi lain, peningkatan kapasitas kelembagaan dalam sistem MRV berkaitan erat dengan dukungan kualitas sumberdaya manusia, pendanaan dan transfer teknologi untuk memperkuat sistem MRV.
Yang juga penting diperhatikan adalah bagaimana kelembagaan dalam konteks organisasi pelaksana dalam sistem MRV. Apakah dibutuhkan satu wadah tunggal dalam pelaksanaan sistem MRV atau mendayagunakan organisasi (unit-unit di Kementerian/Lembaga) untuk melaksanakan sistem MRV/ETF, sesuai dengan peran dan fungsing masing-masing, baik di tingkat perencanaan, penganggaran, pemantauan, pelaporan, dan verifikasi. Laporan ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memilih kelembagaan/organisasi pelaksana dengan memanfaatkan organisasi yang sudah ada.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana organisasi pelaksana MRV (Kementerian/Lembaga) berjalan secara harmonis, dengan pembagian kerja dan tanggung jawab yang jelas dan tidak tumpang tindih, serta pola komunikasi yang akuntable, di tingkat perencanaan, penganggaran, pemantauan, pelaporan, dan verifikasi, sehingga dapat menghasilkan output kinerja yang berkualitas dalam sistem MRV berbasis pada kebijakan “Satu Data”.
Rekomendasi Kebijakan
Mengacu pada kondisi dan kebutuhan dalam rangka penguatan Sistem Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) untuk mendukung Pelaksanaan Enhanced Transparency Framework (ETF) dan Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia, artikel ini memberikan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
- Pertama, pemerintah perlu melakukan penguatan sistem MRV untuk bertransformasi menjadi ETF.
- Kedua, Indonesia perlu mempunyai payung hukum untuk memperkuat sinergi pelaksanaan MRV. Penyusunan Peraturan Presiden tentang Pembangunan Rendah Karbon serta Perhitungan dan Pemantauannya, perlu dipercepat.
- Ketiga, pemerintah perlu melakukan harmonisasi sistem MRV melalui pengembangan sistem “Satu Data” antara beberapa kementerian yang terlibat dalam perencanaan, penganggaran, pemantauan dan verifikasi. Kebijakan “Satu Data” ini bisa ditransformasikan menjadi sejenis “knowledge hub” yang dikelola di bawah Menko Perekonomian.
- Keempat, pemerintah perlu melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam pelaksanaan sistem MRV.
- Kelima, pemerintah perlu memperkuat transparansi dalam sistem MRV sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ETF.
- Keenam, pemerintah perlu melakukan penguatan kelembagaan/organisasi pelaksana MRV sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab, yakni di tingkat perencanaan (Bappenas dan Kementerian Keuangan), penganggaran (Kementerian Keuangan), pemantauan (Bappenas), inventori dan verifikasi (KLHK), dan pelaporan (Menko Perekonomian).
Dr. Cand. Yusdi Usman adalah Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan, dan kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia.