Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia berencana prioritaskan sektor energi terbarukan (EBT) untuk penanaman modal. Hal itu dilakukan demi mendukung upaya pemerintah yang pasang target penurunan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030.

Dewan Pengawas LPI Darwin Cyril Noerhadi membenarkan hal itu. Menurutnya, tren investasi dunia saat ini sudah mengarah pada proyek-proyek berkelanjutan, atau Environmental, Social, and Governance (ESG).

“Jadi kalau kita lihat market dunia terhadap renewable demikian meningkat pesat. Trennya di dunia itu dari kaca mata investor itu adalah disebut ESG,” katanya dalam sebuah webinar yang dilaksanakan beberapa pekan lalu, Sabtu (8/5/2021).

Berdasarkan laporan McKinsey 2019, investasi ESG memang telah mengalami lonjakan drastis, mencapai US$30 triliun atau meningkat 10 kali lipat sejak 2004. Di Amerika Serikat, menurut laporan US Sustainable Responsible and Impact Investing tahun 2018, diperkirakan 26% dari total aset AS telah dikelola menggunakan skema ESG.

Itu senada dengan hasil studi yang dilakukan Schroders tahun 2019. Ada sekitar 57% investor global yang mempertimbangkan faktor keberlanjutan saat memilih produk investasi. Angka tersebut bahkan lebih tinggi di Asia, yakni sekitar 66%.

Pada kecenderungannya, para investor merasa enggan menginvestasikan dana mereka ke perusahaan yang dianggap bermasalah di soal-soal seperti hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, dan tata kelola.

“Ini (ESG Investing) semakin ketat dan semakin tinggi minatnya. Jadi kalau prioritas dari kacamata kita, pada saat kita mencari mitra, mereka akan lihat ada nggak yang renewable. Jadi renewable menjadi daya tarik sendiri,” tukas Darwin Cyril Noerhadi.

Benarkah EBT Prioritas?

Pemerintah punya asa yang besar kepada LPI. Lembaga yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2020 itu diharapkan dapat menarik investasi asing hingga Rp281 triliun. Tak tanggung-tanggung, digelontorkan dana sebesar Rp75 triliun sebagai modal awal bagi LPI. Angka itu setara dengan anggaran Kemeterian Kesehatan untuk setahun.

Namun demikian tampaknya pernyataan LPI tentang investasi energi terbarukan boleh dibilang masih menggantang asap. Meski benar bahwa pemanfaatan energi terbarukan menguntungkan dilihat dari sisi manapun, faktanya, EBT belum secara sui generis menjadi prioritas lembaga ini dalam beberapa tahun ke depan.

Paling banyak hal itu tecermin dari pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir, dalam satu kesempatan, yang menyebut bahwa infrastruktur jalan tol, pelabuhan, dan bandara, dengan kolaborasi dengan private sector akan menjadi prioritas LPI. Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, dalam kesempatan lain juga mengatakan hal yang sama.

Beberapa infrastruktur itu bahkan sudah masuk dalam daftar proyek strategis nasional. Untuk disebutkan di antaranya yaitu tol Jabodetabek sepanjang 101,6 km, Bandara Kediri, Bandara Nabire Baru, Bandara Bali Utara, proyek KA akses Bandara Baru Yogyakarta-Kulon Progo, KA Jakarta-Surabaya, Pelabuhan KEK Maloy, Pelabuhan Sanur, Pelabuhan Likupang, dan Pelabuhan Patimban.

Tentu investasi infrastruktur perlu dikaji terus menerus. Apalagi, utilitas atau manfaat dari proyek infrastruktur masih menjadi perdebatan. Bandara Kertajati di Jawa Barat, misalnya, sejauh ini tidak menampakkan tanda-tanda menguntungkan jika melihat belum banyak jumlah penumpang yang terbang dari sana.

Belum dihitung pula soalan Covid-19 yang sampai sekarang masih terjadi. Cukup sulit mengatakan bahwa permintaan atau daya beli masyarakat baik-baik saja dalam setahun pandemi ini. Dengan demikian, utilitas proyek infrastruktur pasti juga rendah.

Maka pertanyaan besarnya adalah, bisakah pemerintah memfokuskan arah investasinya ke sektor yang bukan hanya mampu mempercepat proses pemulihan ekonomi, tetapi juga berkontribusi untuk menciptakan model produksi yang lebih kondusif bagi kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya?

Keuntungan Menggenjot EBT

Pandemi telah membuka peluang unik bagi pemerintah seluruh dunia untuk memulihkan ekonominya dengan perilaku yang lebih berkelanjutan. Sebuah lembaga think-tank berbasis Amerika Serikat, IEA, bahkan menyebut, “Energi terbarukan lebih tangguh terhadap krisis Covid,” kata Fatih Birol, direktur eksekutif IEA.

“Tetapi energi terbarukan tidak resillient menghadapi ketidakpastian kebijakan,” lanjutnya.

Maka benarlah bahwa EBT memerlukan kebijakan yang konsisten. Seiring dalam ucapan dan tindakan. Yang utama adalah pemerintah harus konsisten dan berkomitmen terhadap perencanaan proyek energi bersih. Dengan demikian, kehadiran Lembaga Pengelola Investasi mampu menguatkan keyakinan investor akan masa depan proyek energi bersih di Indonesia.

Potensi EBT cukup besar. Untuk potensi tenaga sinar matahari saja, menurut ESDM, terdapat sekitar 207,8 Giga Watt yang perlu dioptimalkan. Hal itu didukung faktor geografis Indonesia yang terletak di garis ekuator sehingga sinar matahari cenderung konstan.

Dalam hal itu, maka pemangku kepentingan perlu mendorong pengembangan energi surya yang lebih masif dan agresif. Pemanfaatan EBT tidak bisa jika disandarkan pada satu lembaga pembiayaan seperti LPI. Ia harus didukung komitmen kuat pemerintah.

Sudah lebih dari sekali ‘komitmen’ disebut di sini. Karena memang terkait pengembangan EBT, hal itulah yang selama ini belum terdengar konklusif. Padahal di satu sisi, Indonesia sudah kehabisan waktu untuk segera memenuhi janjinya tentang penurunan emisi.

Maka sekaranglah saat yang tepat untuk benar-benar memprioritaskan energi terbarukan dalam agenda investasi Indonesia. Jadikan pandemi Covid-19 sebagai momentum mendesain energi terbarukan sebagai moral ekonomi baru untuk meningkatkan ketahanan energi, serta menyudahi praktik ekonomi kotor yang tidak ramah lingkungan. [Ananta Damarjati]