Jakarta, RIBnews – Pemerintah Indonesia telah lama berjanji kepada dunia bahwa akan ikut memperkuat Green Economy. Baru-baru ini, janji tersebut diulang kembali oleh Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan 22 April 2021 lalu.

Dalam forum itu, di hadapan 41 kepala negara/kepala pemerintah/ketua organisasi internasional, Presiden Jokowi menyampaikan tiga hal. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia serius dalam kendali perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, mengajak para pemimpin memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Ketiga, memperkuat kemitraan global demi mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya.

Presiden bukan bicara tanpa memberi contoh. Dia mengatakan bahwa Indonesia sedang mempercepat pilot net zero emission. Antara lain dengan membangun Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang diklaim terbesar di dunia.

“Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi,” kata Presiden Jokowi, dikutip dari Antara.

Lemahnya Dukungan APBN untuk Krisis Iklim

Namun demikian, kalau dilihat kembali, agaknya upaya penanganan krisis iklim dan juga pemulihan ekonomi hijau melalui pendekatan anggaran (APBN) masih sangat lemah.

Sekurang-kurangnya hal itu dapat dilihat dari postur anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) pada tahun 2021 yang, di antaranya, tidak mencerminkan sense of crisis bahwa dunia sedang kehabisan waktu menghadapi krisis iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) misalnya, yang idealnya menjadi leading sector mengatasi perubahan iklim, justru hanya menempati urutan 18 dalam alokasi belanja K/L tahun 2021. Posisinya hanya setingkat lebih baik dari tahun 2020 yang menempati urutan ke-19.

Bahkan dalam realisasi tahun 2020 lalu, KLHK termasuk yang penyerapannya kurang baik. Alokasi belanja sukar dibilang optimal. Urutan persentase realisasi KLHK hanya yang ke-46 dari total 85 K/L, dengan realisasi 93,94%.

Dengan menimbang pula banyak hal lain, dapat disimpulkan bahwa anggaran untuk green economy belum diaktualisasi secara memadai oleh pemerintah.

Oleh sebab itulah pemerintah perlu melakukan inovasi-inovasi kebijakan. Barangkali salah satu yang paling mendesak ialah memastikan masuknya kerangka green economy recovery dalam APBN tahun 2022 sebagai bagian dari penanganan pemulihan ekonomi sekaligus potensi krisis iklim di masa depan.

FGD Green Recovery APBN 2022

Untuk membahas pentingnya green economy recovery masuk ke dalam APBN 2022 tersebut, Koalisi GENERASI HIJAU (Gerakan Ekonomi Hijau Masyarakat Indonesia) bersama Seknas FITRA akan mengadakan Focus Group Discussion dengan judul RAPBN 2022: Pro Green Economic Recovery?, pada hari Rabu, 28 April 2021, pukul 16.00 – 18.00.

FGD ini dilaksanakan dengan peserta terbatas dan protokol kesehatan yang ketat di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta. FGD ini bisa diikuti secara terbuka oleh publik melalui kanal YouTube FITRA TV.

Diskusi akan menghadirkan narasumber di antaranya: Eka Chandra Buana (Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Bappenas); Noor Syaifudin, Ph.D (Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kemenkeu); Misbah Hasan (Sekjen FITRA & Koordinator Generasi Hijau), dan Moekti H. Soejachmoen dari IRID (Indonesia Research Institute for Decarbonization). (Ananta Damarjati)