Jika tidak ada aral melintang pada November nanti, pertemuan internasional tingkat tinggi tentang perubahan iklim (COP26) akan digelar di Glasgow. Konferensi ini sedianya dilaksanakan November 2020, namun ditunda lantaran pandemi Covid-19 yang menggila.
Bagaimanapun, COP26 membutuhkan perwakilan dari semua negara untuk hadir, sementara penanganan Covid-19 berbeda antara satu negara dengan lainnya. Praktis, penundaan konferensi tahun lalu itu tak terelakkan.
Sempat dipertimbangkan agar COP26 dilaksanakan secara daring: Usulan itu ditolak. Para delegasi menyimpulkan bahwa negosiasi yang kompleks tidak cukup dilakukan secara virtual.
Meskipun COP26 tertunda setahun, tantangan bagi pemimpin dunia yang akan bertemu di Glasgow November nanti tetap sama. Mereka harus menyetujui rencana kuat menjaga emisi gas rumah kaca (GRK) agar tetap di bawah ambang batas bahaya perubahan iklim.
Inggris dan Italia didapuk sebagai tuan rumah COP26. Di sisi lain, dua negara tersebut juga merepresentasi dua grup besar dunia, yakni G7 dan G20. Bisa dikatakan COP26 akan menjadi forum yang menyinergikan kepentingan negara-negara peserta G7 dan G20. Dan secara otomatis, COP26 juga bakal jadi forum yang membuka kunci persoalan iklim dunia pada dekade-dekade mendatang.
Emisi Global
Dunia telah sepakat dalam Perjanjian Paris bahwa pemanasan global perlu dibatasi hingga di bawah 1,5 – 2 derajat Celcius dibandingkan sebelum industrialisasi. Dalam pada itu, COP26 perlu merumuskan tidak hanya tentang bagaimana mencapai kesepakatan itu, namun juga dengan cara apa tujuan itu dicapai, apakah dengan kolaborasi atau sendiri-sendiri.
Sebab, sebuah lembaga riset berbasis Inggris Verisk Maplecroft menyebut bahwa negara G20 masih menyumbang 80% emisi global. Ini merupakan catatan penting. Dalam laporan mereka mengatakan: “Bahkan jika negara anggota terbaik dari G20 serius berjuang memenuhi tujuannya—sementara yang lain tidak—maka target Perjanjian Paris membutuhkan desakan terus-menerus selama dekade mendatang.”
Laporan tersebut menjadi appetizer yang patut dipertimbangkan sebelum COP26 terselenggara esok. Bahwa, tidak cukup bagi negara dunia untuk bekerja sendiri-sendiri.
Di antara negara G20, Inggris menjadi yang paling menonjol dalam mencapai target Kesepakatan Paris. Posisinya semakin kokoh sejak negeri Elizabeth ini mengesahkan Undang-Undang Perubahan Iklim pada tahun 2017. Dengan pelahan-lahan meninggalkan pemakaian batu bara, emisi GRK Inggris pun telah berkurang hampir setengah dari total tahun 1990.
Tapi Inggris belum saatnya berpuas diri. Dengan negara ini memperbarui target pengurangan emisi menjadi sebesar 78% pada 2035, maka ada banyak hal yang masih harus dilakukan. Apalagi, laporan Verisk Maplecroft menyebut, target baru itu akan mustahil tercapai kalau Inggris masih menjalankan kebijakan ‘hari ini’.
Untuk mencapai target barunya, Inggris membutuhkan lebih banyak mobil listrik, pemanas rendah karbon, listrik ramah lingkungan, serta pengurangan besar-besaran konsumsi daging dan produk susu. Dan, itu semua membutuhkan kerangka kebijakan lebih dari yang ada sekarang.
Namun di luar Inggris, jika melihat matriks keseluruhan anggota G20, tampak betapa transisi menuju dunia yang lebih hijau sedang mengalami ketidakteraturan. Laporan Verisk Maplecroft menunjukkan bahwa sejak tahun 2017, realisasi penurunan emisi dari negara G20 masih cukup jauh dari target yang ditetapkan pada 2030.
Performa Kebijakan Karbon G20 (2017-2020)

Sumber data: Verisk Maplecroft.
Menyitir laporan tersebut: “Negara-negara G20 perlu merumuskan langkah-langkah seperti pembatasan emisi untuk pabrik, menguatkan mandat untuk membeli energi bersih, dan melakukan pungutan tinggi atas karbon. Itu perlu dilakukan dengan sedikit peringatan keras.”
Negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat, China, Inggris, Jerman, dan Jepang perlu menghentikan emisi untuk memenuhi tujuan iklim yang telah disepakati.
Di titik inilah mengapa forum COP26 besok diharapkan mampu memberi tekanan pada negara-negara dunia untuk mengarahkan kebijakannya bertransisi menuju pembangunan yang rendah emisi. Maka sejatinya, COP26 adalah tentang mengubah komitmen menjadi tindakan nyata.
Anggaran Energi
Salah satu cara yang dianggap konklusif untuk mencapai Kesepakatan Paris adalah transisi energi bersih. Dunia harus meninggalkan pemanfaatan energi kotor seperti batu bara. Di satu sisi, perlu peningkatan derajat kepentingan energi baru terbarukan (EBT) seperti energi surya, bayu, air, dan lain-lain yang terbukti lebih ramah terhadap lingkungan.
Dan, sebagai kelompok yang memiliki share terbesar dari total ekonomi dunia, negara-negara G20 lagi-lagi menjadi pihak yang layak disorot. Dalam hal ini, menarik untuk mencermati anatomi pembiayaan anggota G20 terhadap sektor energi di negaranya masing-masing.
Data Energy Policy Tracker menunjukkan, pada tahun 2020, negara G20 telah menggelontorkan setidaknya US$648,60 miliar untuk berbagai jenis energi. Rinciannya: US$293,10 untuk energi fosil; US$246,06 untuk energi baru terbarukan; US$109,44 miliar untuk energi lainnya.
Dana Publik G20 Sektor Energi (2020)
Sumber data: Energy Policy Tracker.
Energy Policy Tracker menghitung akumulasi dana publik berdasarkan kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkan masing-masing negara. Selain itu, dihitung pula kebijakan dan peraturan lain (off-budgeter) yang dinilai memberikan manfaat langsung bagi sektor energi.
Tampak betapa pendanaan sektor energi negara G20 belum mengarah pada kemauan menuju energi baru. Bahkan pandemi sekalipun, yang telah memaksa dunia untuk berubah, tidak dimanfaatkan sebagai momentum memperbaiki anatomi sektor energi.
Padahal setelah babak krisis COVID-19 selesai nanti, akan muncul krisis iklim di babak selanjutnya.
Perkembangan Indonesia
Bagaimanapun, Indonesia juga wajib mengarah pada energi terbarukan. Dalam Kebijakan Energi Nasional, sudah ditetapkan Indonesia akan memanfaatkan energi terbarukan sebesar 23% dari total energi yang ada pada tahun 2025.
Persentase tersebut merupakan ‘sasaran antara’ yang penting dicapai sebelum menuju ‘sasaran sesungguhnya’, yakni energi terbarukan 31% pada tahun 2050.
Namun sejauh ini—mungkin akibat komitmen pemerintah yang cenderung timbul tenggelam—realisasi energi terbarukan pada tahun 2020 hanya bisa dicapai sebesar 11,2%. Kalah jauh dibanding gas bumi 19,16%, minyak bumi 31,60%, dan batu bara 38,04%.
Terlihat, kita masih amat bergantung pada energi fosil.
Realisasi Bauran Energi (2020)
Target Bauran Energi (2025)
Target Bauran Energi (2050)
Sumber data: ESDM.
Jelas bahwa transisi energi adalah langkah yang berat. Itu tidak mudah tercapai tanpa dukungan yang memadai, baik dari segi regulasi, anggaran, dan kebijakan-kebijakan pendukung lainnya.
Selain bahwa penting bagi pemerintah untuk menggenjot kebijakan sektoral seperti transisi energi, masih banyak pekerjaan yang perlu segera diselesaikan, salah satunya meningkatkan kesadaran publik akan bahaya perubahan iklim. Atau sebaliknya: merespons dengan bijak setiap keluhan masyarakat terkait kondisi lingkungan tempat mereka hidup.
Meski masih kecil, kesadaran akan lingkungan sedang bertumbuh di masyarakat kita. Hal itu ditunjukkan dengan, misalnya, oleh sejumlah pihak yang menyebut diri sebagai Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota), yang pada tanggal 6 Juli 2019, menyampaikan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait pencemaran yang ada di Jakarta.
Koalisi ini—terdiri dari Greenpeace, Walhi, dan LBH Jakarta—menggugat pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas polusi, yaitu: Presiden RI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Pemprov DKI, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat.
Sudah lebih dari 18 bulan gugatan itu terkatung. Jika pemerintah tidak bijak menanggapi, dikhawatirkan bakal muncul preseden buruk bahwa negara tidak berkeinginan melindungi rakyatnya dari ancaman lingkungan.
Kesadaran Publik Terkait Isu Lingkungan
Sumber data: Verisk Maplecroft.
Padahal, hak atas lingkungan hidup yang baik telah diatur dalam UUD 1945. Bahwa, bukan sekadar akses ke pelayanan kesehatan, negara juga wajib memberi akses informasi dan mengedukasi masyarakat agar upaya mitigasi lingkungan berjalan dengan baik.
Upaya individu menjaga diri dari kerusakan lingkungan itu penting untuk segera dipertemukan dengan regulasi para pengambil kebijakan. Di sinilah kolaborasi antara warga dan negara seharusnya dapat terjalin. Warga memberi masukan kepada negaranya. Dan sebaliknya negara mendengar warganya.
Kolaborasi itu patut diwujudkan dalam aksi. Jelas bahwa langkah menuju ke sana tidak mudah, apalagi bila ada kepentingan segelintir aparat negara yang tidak memihak pada nasib orang banyak. [Ananta Damarjati]