Oleh Tim RIB, AMF dan IAP2 Indonesia
Gaya hidup ‘hijau’ telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dan menjadi konsep yang populer karena semakin banyak orang mengakui manfaat dari praktek yang berkelanjutan. Seperti yang diketahui, dewasa ini berbagai negara dihadapkan pada masalah degradasi sumber alam, sumber daya energi, lingkungan, dan sumber daya pangan. Eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan semakin memperburuk lingkungan karena perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, ancama perubahan iklim dan pemanasan global semakin mengurangi keberlanjutan bumi dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia di dunia.
Pembangunan berkelanjutan merupakan pembagunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini, tetapi tidak membahayakan bagi generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (United Nations Division for Sustainable Development, 2007). Konsep ini tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan, melainkan juga mencakup tiga lingkup kebijakan, yakni pembangunan ekonomi, pembangunan social, dan perlindungan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia sudah dimulai sejak 1970-an, tetapi hingga sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pertumbuhan ekonomi yang jangka pendek. Apabila pembangunan masih mempertahankan pembangunan ekonomi yang cenderung ekstratif dan jangka pendek, maka upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan pendekatan Ekonomi Hijau (Green Economy Approach). Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar meninggalkan praktek-praktek ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek di mana praktek ini telah mewariskan sejumlah permasalahan lingkungan. Sektor kehutanan dan gambut merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada tingkat emisi gas rumah kaca, sebesar 61% dari total emisi Indonesia. Sektor ini juga sekaligus menjadi sektor yang dapat melakukan mitigasi dengan tingkat biaya yang efisien.
Dalam Studi Penilaian Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Valuation Study) yan dilakukan CIFOR (2020), mengungkapkan bahwa penerapan ekonomi hijau menyumbang lebih banyak manfaat bagi suatu negara dibandingkan bisnis yang dijalankan secara biasa. Adapun, ekonomi hijau merupakan paradigma ekonomi baru yang meminimalkan faktor kerusakan lingkungan dan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa hutan sangat berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Hutan telah berkontribusi bagi perekonomian serta menyediakan kebutuhan pangan, energi, dan bahan bangunan bagi kehidupan manusia selama ribuan tahun. Hutan berada di garis terdepan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih lestari. Dalam studi Penilaian Ekosistem Hutan, menjelaskan bila Indonesia menerapkan ekonomi hijau, maka total lapangan kerja bidang kehutanan pada 2030 akan mencukupi untuk 247.945 orang. Sementara, penerapan bisnis secara biasa hanya akan menghasilkan total lapangan kerja bidang kehutanan untuk 193.774 orang.
Tak hanya itu, penerapan ekonomi hijau juga dinilai dapat menekan emisi karbon. Penelitian ini mengungkapkan dengan penerapan ekonomi hijau, emisi karbon kumulatif yang dihasilkan selama 2015 hingga 2030 hanya 689 juta TCO2. Sementara, penerapan ekonomi secara biasa dapat menghasilkan 2.484 juta TCO2 dalam kurun waktu 2015 hingga 2030.
Ekonomi Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon
Dalam konteks perubahan iklim dan ekonomi hijau, pada tahun 2010 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). ICCSR ini memuat strategi sembilan sektor, yaitu kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumber daya air, dan kesehatan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan.
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan komitmen penanganan perubahan iklim global pada COP21 di Paris, Desember 2015 yaitu akan mereduksi emisi GRK sebesar 29% (menggunakan kemampuan sendiri) dan sebesar 41% (jika mendapat dukungan internasional) dibandingkan dengan baseline tahun 2030. Komitmen tersebut diratifikasi melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, yang kemudian diterjemahkan dalam konsep Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). Kementerian PPN/Bappenas memegang peranan penting untuk mengarusutamakan PPRK menjadi salah satu agenda prioritas nasional dalam RPJMN 2020 – 2024.
Pembangunan Rendah Karbon (PRK) adalah platform baru pembangunan yang diinisiasi Bappenas bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan rendah emisi dan meminimalkan eksploitasi SDA. Lebih lanjut, pada Maret 2019, Bappenas juga mengeluarkan laporan berjudul Pembangunan Rendah Karbon: Perubahan Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia yang mengungkapkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat menjadi 6% per tahun hingga 2045 melalui mekanisme rendah karbon. Mekanisme rendah karbon dapat mengurangi emisi sebesar 43% pada 2030, lebih tinggi dari yang dijanjikan Indonesia dalam Perjanjian Paris dan dapat menjadi pendapatan ekspor baru bagi Indonesia.
Apabila Indonesia dapat melaksanakan mekanisme perdagangan karbon yang terintegrasi dan terkontrol melalui sarana perdagangan yang terorganisasi seperti bursa komoditas, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menuju ekonomi hijau lebih cepat daripada yang direncanakan. ##
RIB adalah Rumah Indonesia Bekelanjutan # AMF adalah Anwar Muhammad Foundation # IAP2 Indonesia adalah International Association for Public Participation